Beli blog ini silahkan. WhatsApp Atau Klik Ini!
Loading...

Cerpen - Ku Pinjam Tunanganmu

“Lin, aku mau nikah.”

Ku tarik nafas panjang. Akhirnya yang aku takutkan terjadi.

Entah apa yang harus ku katakan, lidahku kelu, serasa mati rasa seluruh tubuh ini.
Dia mendekat lalu memeluk ku. Seketika pertahanan ku goyah, air mata ku tumpah di pelukannya.

“Kamu harus janji, kamu harus bahagia.”
Tapi bagaimana bisa aku bahagia, jika alasanku satu-satunya untuk bahagia, kini perlahan meninggalkanku.

“Kembalilah pada suamimu, kembalilah pada keluargamu.”

Aku hanya bisa menangis, dalam pelukannya. Mungkin saja besok, aku tak akan bisa merasakan hangatnya pelukan ini.

*****

Semua berawal dari reuni. Reuni teman-teman SMA.

Seperti biasa, heboh, penuh canda tawa.
Aku yang memang sedang ‘tidak bahagia’ bisa sedikit terhibur dengan pertemuan ini. Bertemu teman-teman, bercerita kekonyolan masa remaja kami dulu. Ahh, masa-masa SMA yang sangat indah.

Lalu datanglah Sigit, dia bisa dibilang teman akrab ku. Teman nakal bareng. Teman bolos bareng. Pokoknya semua yang jelek-jelek bareng dia, hahahaha.

“Ehh cuy, beda lo ya sekarang.” Sambil dia pukul bahuku keras.

“Gila lu. Sakit tau.”

“Sendirian aja lu, suami lu mana? Apa janda ya lu sekarang?” Celotehnya sambil terkekeh.

“Enak aja, suami gue kerja lah, cari duit buat bahagiain istri, lah elu kerja buat siapa? Jomblo dipiara.” Ucapku tak mau kalah.

Seperti itu seterusnya, saling ejek. Tapi bahagia rasanya. Semua beban dipundak ikut terbang bersama hingar bingarnya canda tawa kami.

“Lu pulang sama siapa, Lin?”
“Susah amat sih mikirin pulang, ojek banyak.” Jawabku ketus.
“Bareng gue aja lah, ‘ntar diculik ojek gue ga ada temen kaya lu, temen kaya lu itu langka tau.”
Memang gila anak ini.

Sebelumnya ku telepon suamiku, meminta izin aku pulang diantar Sigit. Tanpa banyak tanya ia mengiyakan.
Tak cemburukah dia? Jangan tanya soal cemburu, hati saja aku tak tau dia punya atau tidak.

*****

Sigit tak banyak berubah, sikapnya tetap sama seperti dulu, nyebelin tapi asik, cuek tapi perhatian.
Hanya fisik dan penampilannya yang berubah. Ya sudah pasti kalau dibandingkan dulu jaman SMA dia belum ‘jadi orang’. Sekarang dia membuka usaha restoran makanan Jepang dengan beberapa cabangnya di kota lain. Bisa dibilang sukses lah dia sekarang.

Selanjutnya, dia sering curhat ini itu, mengenai dia di jodohkan orang tuanya, karena belum menikah juga. Umur kami sama, 28 tahun kala itu.
Aku sudah menikah dengan mas Teguh. Tapi Sigit masih jomblo. Makanya orang tuanya mencarikan calon untuknya. Bukan karena Sigit tak mampu mencari calon sendiri. Tapi memang hanya dia yang tau alasanya kenapa dia belum memikirkan untuk menikah.

Aku yang memang kesepian, merasa sedikit terhibur dengan hadirnya Sigit. Tak segan dia bercerita apa saja. Akupun sebaliknya, bercerita banyak tentang suamiku, tentang rumah tanggaku.

*****

Dua tahun lalu aku menikah dengan Mas Teguh. Dia rekan kerjaku saat itu. Dia orang baik, bertanggung jawab, tapi dia cuek.

Mungkin yang ada di fikirannya, yang wanita butuhkan itu hanya uang. Dia akan memberi berapapun yang ku mau. Tapi setelah itu, sudah. Dia lepas tangan. Tak pernah ada canda tawa dalam rumah kami, tak pernah ada obrolan suami istri. Saat dia pulang bekerja, mandi, makan, main game, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Ingin rasanya aku diperhatikan, tak perlu gombal alay ala-ala ABG. Cukup ditanya ‘Sudah makan belum’, atau hanya sekedar mendengarkan ceritaku, keluh kesahku.
Pernah kami bertengkar hebat cuma karena hal sepele, aku mau jalan-jalan dengannya. Tak perlu ke tempat mewah. Beli bakso di warung depan gang juga ‘gapapa. Selalu ada saja alasannya, cape lah, inilah, itulah. Akhirnya kami bertengkar, tak saling tegur sapa berhari-hari. Cuma karena jajan bakso.

Setiap aku ingin bercerita, berkeluh kesah. Dia hanya menganggapku banyak mengeluh, tak bersyukur.

Sebenarnya tak rumit inginku, cukup dengarkan aku, beri dukungan, atau pelukan. Sudah cukup itu saja. Tapi mungkin gengsi baginya.

Belum lagi gunjingan tetangga dan keluarga, yang terus bertanya kapan aku hamil. Beban ini terasa ku pikul sendiri, dia manusia es batu seolah tak peduli dengan apa yang aku rasakan.

*****

Pertemuanku dengan Sigit seolah jawaban atas Do’a-do’a ku.

Semakin lama sudah tak canggung lagi kami saling tukar cerita masalah pribadi, aku dengan kehidupan rumah tanggaku, dan dia dengan kejombloannya.

“Gue stress, tiap pulang, Emak gue menyodorkan banyak foto cewek.” Keluhnya saat itu.

“Ya enak dong, Lu tunggal pilih yang paling cantik, abis itu kawin. Beres.” Ucapku disertai tawa.
“Ah, sama aja lu kaya Emak gue.” Kesalnya.

“Eh Git, sebenernya apa sih yang lu cari? Gue rasa Emak lu itu bener, udah waktunya lu punya istri.”

Tanpa jawaban. Dia hanya diam. Entah apa yang dia fikirkan.

“Karena cuma kamu di hati aku Cellin.”

Whaatttt ?? Aku tertawa terbahak.
Tapi sebentar, barusan dia bilang aku-kamu. Aku berhenti tertawa.

“Semenjak SMA, aku sudah menaruh hati padamu, Lin. Tapi mungkin kamu ga sadar itu.?”
“Saat itupun, tak ada keberanian untuk berbicara ini padamu. Bagiku, sudah bisa menjadi sahabatmu saja, sudah cukup bagiku.”

Kulihat dia tertunduk. Aku salah tingkah, apa yang harus ku perbuat.

Dia terus bercerita bagaimana dia menyimpan perasaan untukku itu rapat-rapat. Yang dia takutkan saat itu adalah, jika dia mengutarakan isi hatinya, maka aku akan menjauh.

*****

Malam ini, terus ku fikirkan percakapan ku dengan Sigit tadi siang.
Ku tanya hatiku, memang ada sedikit rasa untuknya. Selama ini, kusangka hanya rasa pertemanan biasa. Tapi semakin ku dalami, rasa itu semakin nyata.

Keadaan rumah tanggaku yang semakin kaku, membuat kehadiran Sigit begitu berarti bagiku.

Hubungan kami semakin hari semakin akrab. Jika dilihat dari jauh, sepertilah kami sepasang kekasih.

Sigit yang slalu ada untukku, slalu siap mendengar isi hatiku, dan bersamanya aku nyaman. Kenyamanan ini yang tak pernah kudapat dari suamiku. Aku tahu ini dosa, ini salah. Tapi biarlah aku menikmati sebentar saja kesalahan ini. Sampai kapan? Entah.

Tiada hari yang ku lalui tanpa bahagia, bahagia, dan bahagia. Lalu mas Teguh? dia biasa saja. Entah dia menyadari atau tidak kalau aku sedikit berubah. Tapi bukan Mas Teguh namanya kalau tidak bersikap bodo amat.
Akupun begitu, bodo amat. Jika suatu saat hubungan kami terbongkar. Ya salahkan saja Mas Teguh, kenapa dia seperti es batu, dingin.

*****

Pagi itu, Sigit mengajak kami bertemu. Biasanya kami bertemu di kedai kopi atau tempat makan lainnya. Tapi sekarang, Sigit mengajakku ke rumahnya.
Awalnya aku menolak, kenapa harus dirumah dia? Tapi dia meyakinkan tak akan terjadi apa-apa. Dengan sedikit ragu, akupun setuju.

Dirumah Sigit, aku bertemu Bu Mar, Ibunya Sigit. Beliau tak banyak berubah, hanya beberapa rambut putih terlihat dikepalanya.
Beliau memelukku, terasa olehku dia menangis. Kami berbincang panjang lebar , hingga akhirnya.

“Celline, Nak. Kamu tau kenapa Sigit tak mau menikah?” Tanyanya sangat pelan dan hati-hati.
Aku hanya mengangguk.

“Dia sangat mencintaimu, Nak.
Selama ini dia menunggumu. Tapi kau tak sadar itu.”

“Ibu sudah tau tentang hubungan kalian, tentang rumah tanggamu. Kalian pasti sadar kalau ini salah. Ini dosa.”

“Kemarin, Sigit meminta izin pada Ibu untuk melamarmu, makanya Ibu minta kamu datang kesini, Nak.”

“Bu…” Aku terkejut.

Entah terkejut atau bahagia, tapi ya seperti itu rasanya.

“Tapi..” Lanjutnya
“Yang kalian lakukan ini salah, seandainya diteruskan pun tak akan berkah.” Kulihat netranya mulai mengembun.

Aku belum mengerti, ke arah mana beliau akan berbicara.

Kulirik Sigit, dia terus menatapku, dengan tatapan sedih. Ada apa ini?

Bu Mar bergeming, tak sepatah katapun keluar lagi dari mulutnya. Lalu dia pamit ke kamar.

“Git, maksudnya apa ini?”

Sejujurnya, aku bahagia saat Bu Mar berkata Sigit akan melamarku, tak perlu waktu untuk menjawabnya, akan langsung ku jawab iya. Tapi mendengar perkataan Bu Mar tadi, aku sedikit gelisah.

“Lin, aku mau nikah.”

Ku tarik nafas panjang. Akhirnya yang aku takutkan terjadi.

Entah apa yang harus ku katakan, lidahku kelu, serasa mati rasa seluruh tubuh ini.
Dia mendekat lalu memeluk ku. Seketika pertahanan ku goyah, air mata ku tumpah di pelukannya.

“Kamu harus janji, kamu harus bahagia.”
Tapi bagaimana bisa aku bahagia, jika alasanku satu-satunya untuk bahagia, kini perlahan meninggalkanku.

“Kembalilah pada suamimu, kembalilah pada keluargamu.”

Aku hanya bisa menangis, dalam pelukannya. Mungkin saja besok, aku tak akan bisa merasakan hangatnya pelukan ini.

“Kenapa kamu tak jujur dari awal, seandainya kamu melamarku pun aku mau.” Jawabku sambil terisak.

Dia hanya diam, memelukku semakin erat, tapi hatiku semakin sakit.

“Setidaknya aku pernah memilikimu.” Jawabnya pelan.

Tangannya lembut mengusap kepalaku, lalu mencium keningku.
Dan gelap, hening. Itu yang aku rasakan.

*****

Samar-samar terdengar suara orang berbincang, laki-laki dan perempaun. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi sepertinya, suara laki-laki itu tak asing, itu Mas Teguh, ya suara Mas Teguh.

Terasa ngantuk sekali mata ini, sulit untuk terbuka, perlahan aku mencoba membuka mata, terlihat Mas Teguh bersama seseorang.

“Mas..”

Dia menyambarku dengan pelukan, tak henti-henti dia mencium keningku. Ada apa ini? Dia Mas Teguh atau Sigit? Karena yang memperlakukan aku seperti ini hanya Sigit.

“Dimana aku Mas?”

Melihat keadaan sekeliling tampak aku di Rumah Sakit. Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa disini? Terakhir kali kuingat, Sigit memelukku. Kenapa sekarang aku disini, mana Sigit?

Kepala terasa berat, perut terasa dikocok-kocok, aku mual, lalu muntah terus menerus.

“Pada kehamilan trimester pertama, hal ini biasa Bu. Ibu istirahat ya.” Suster yang menolongku ke kamar mandi bilang aku hamil.

“Saya hamil, Sus?”

“Iya sayang, kita akan punya anak.” Mas Teguh berdiri didepan pintu.

Alhamdulilah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Mas Teguh memelukku. Aku menangis bahagia di pelukannya.

Semenjak tahu aku hamil, Mas Teguh berubah, tak ada lagi suami es batu, dia menjadi suami paling baik, paling perhatian, dia juga suami siaga.

Terlarut pada kebahagiaan ini, membuatku sedikit lupa akan Sigit, bagaimana dia sekarang? Aku tak tahu. Tiga minggu semenjak terakhir kali aku bertemu di rumahnya, tak pernah lagi ada kabar darinya.

“Sayang, ada undangan dari temanmu, Sigit.” Ucap Mas Teguh, sambil menyodorkan sebuah kartu undangan berwarna kuning emas.

“Sigit?” Tanyaku antusias.

Perlahan kubuka lembaran itu, terlihat nama Sigit dan Nita Amalia.
Nita Amalia? Sepertinya aku tak asing nama itu. Tapi apa iya, Nita itu calonnya Sigit.

*****

Kumasuki area parkir gedung pernikahan , semua bernuansa emas. Karangan bunga berjejer rapi, memberi selamat pada kedua mempelai.

Ku tulis namaku di buku tamu, dari jauh kulihat Bu Mar berjalan sedikit tergopoh menghampiriku. Ku peluk dia, ingin menangis rasanya, tapi tidak, setidaknya jangan disini.

Bu Mar mempersilahkan suamiku masuk, tapi dia mengajakku ke belakang, entah ada apa.

Di taman belakang gedung ini, Bu Mar bercerita dari awal. Belum sempat aku bertanya, siapa Nita istri Sigit itu, Bu Mar sudah menjawab semuanya.

Benar dugaanku, Nita Amalia itu teman sekolahku dulu. Memang dari dulu dia menyukai Sigit, tapi terhalang olehku.
Semenjak setahun lalu, Sigit dan Nita dijodohkan, bahkan mereka sudah tunangan. Ayahnya Nita adalah bosnya ayahnya Sigit.

Aku belum mengerti, jika setahun lalu mereka sudah bertunangan, berarti selama denganku Sigit sudah bertunangan dengan Nita.

“Lalu, apa Nita tau tentang aku dan Sigit, Bu?” Tanyaku
“Nita tau, Nak.”

Jleb, kenapa Sigit tak pernah cerita.

Pantas, tiap reuni Nita tak pernah datang.

“Bu, maafkan saya Bu, maafkan saya,” Tangisku mencium tangan Bu Mar.
Bu Mar memelukku, kami menangis.

“Nita mencintai Sigit, sama seperti Sigit mencintaimu, Nak.”

Nita selama ini diam akan hubungan kami, dia biarkan Sigit bahagia bersamaku.

Oh Tuhan. Ampuni dosaku, Mas Teguh, Nita, maafkan aku.

*****

Ku hampiri kedua mempelai itu, tampan dan cantik, Sigit begitu tampan aku lihat, dia tertunduk melihatku.

Ku salami, kuberi selamat, tak lupa ku ucapkan terima kasih pada Sigit, dan maaf pada Nita.

Terima kasih Nita, telah meminjamkan tunanganmu untukku. Semoga kalian bahagia.

Tak lupa ku minta ampun pada suamiku, Bapaknya calon anakku.

Nb: Anak yang ku kandung adalah anak Mas Teguh, aku masih punya benteng iman untuk melakukan hal sejauh itu.

 

Ditulis oleh Heti Daryanti

Getting Info...

About the Author

Gunakan Media Sosial Dengan Benar Agar Bermanfaat :) Follow IG : puttra.id
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.